CERMIN
Mana kala hati mu sedang gundah, cobalah jalan ke kali yang penuh bebatuan. Berpijaklah di tanah yang tak rata, singkirkan pecahan beling beling tajam itu. Basuh muka mu di air yang bening, bercerminlah di sana.
Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak ada kebaikan, tak ada kejujuran atau kejernihan. Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin. Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisme, kita mengagumi kegantengan dan kecantikan wajah kita. Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita. Jangan khawatir, anda tidak termasuk para koruptor, pada level mana pun. Anda orang jujur dan selalu menatap Tuhan berdiri tepat dihadapan anda setiap saat. Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan kejujuran. Lihat lah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah korupsi di wajah kami. Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan. Kami-kami yang orang sentral maupun orang pertikal. Kami-kami orang atas maupun orang bawah. Kami-kami orang penting maupun orang tak penting. Kami-kami para Pemerintah maupun pejuang kepentingan rakyat. Kami-kami para aktivis, seniman, intelektual, LSM, penyangga demokrasi. Kami-kami semua, memiliki kadar, sifat dan wilayah korupsi ini. Mau diilmiah-ilmiahkan dan diakademis-akademiskan bagaimana lagi. Mau dianalisis kayak apa lagi korupsi ini. “Makhluk” bikinan manusia yang jauh lebih besar dan jauh lebih kuat dibanding manusia ini. Mau dipandang dari macam-macam sudut-sudut pandang dan sisi penilaian sampai berapa dekade sejarah lagi. Sudut sistem, sudut budaya, sudut antropologi. Atau segala macam latar belakang yang sebelah mana lagi yang akan kita papar-paparkan demi agar kita tampak serius mengurusi dan memprihatinkan masalah korupsi, untuk kemudian kita kecapekan karena tema satu ini tak pernah usai, tak makin mereda, membosankan untuk dipersoalkan. Namun menikmatkan untuk terus dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Atau bertanya, apakah engkau wahai Bang Nas, sedang marah-marah oleh berita tentang korupsi dan korupsi dan korupsi? Padahal korupsi dan korupsi dan korupsi yang dibeberkan, yang diurus, yang dibawa ke altar pengadilan itu sesungguhnya hanya sepersekian persen dari realitas yang sebenarnya dari korupsi dan korupsi dan korupsi. Korupsi DAK di Dinas P dan P kab langkat sudah begitu menggurita. Pelakunya enteng enteng saja berjalan, merasa tak punya dosa keserakahan. Kearogansian oknum Petugas di Polsek Delitua telah mengoyak ngoyak hati anak dan orang tua dari kalangan orang orang miskin harta, tetap saja dia sehat sehat. Dengan kearogansiannya dia malah dipuja atasan. Naik pangkat cepat. Tak ada belas kasihan yang dipancarkan Petugas itu, menjadikan orang sebagai terangka pembunuhan dengan unsur paksaan. Disiksa biar ngaku, mukanya diubek ubek, kukunya dipreteli, seperti memperlakukan binatang. Sebenarnya binatang yang sesungguhnya ya petugas itu. Coba kalau orang dari turunan ningrat atau orang yang banyak hartanya, pasti bisa dilindungi meski sudah jelas jelas sebagai pelaku. Semogalah kalian kalaian yang tak punya hati itu mati dengan cara cara yang sadis, dilanggar traktor, kepala kalian pecah.
Untuk soal pejabat, petugas yang kejam kejam itu Bang Nas akan mempersilahkan, ambillah dunia seluruhnya, genggam di tanganmu, kepalkan, padatkan seluruh harta dunia ini, ngangakan mulutmu, masukkan padatan itu, telanlah, suruh ia mengembara di ususmu yang melingkar-lingkar. Kemudian aku doakan duburmu tidak sobek karena itu. Ambillah Negara ini, tanah ini, tambang ini, aset ini, akses ini, modal ini, perusahaan ini, hutan ini, gedung-gedung ini, nurani rakyatmu ini, apapun saja, ambillah. Ambillah, monopolilah, curilah, rampoklah, begallah. Dan aku tak punya urusan pribadi dengan semua itu. Aku tak punya kepentingan pribadi terhadap itu semua. Bertengkarlah manusia, bersainglah pembesar-pembesar, sikut-sikutanlah kakap-kakap. Sabot-menyabotlah kalian kaum raksasa, aku tak punya urusan pribadi dengan itu semua. Caploklah planet bumi ini, kluwungilah tujuh samudera, rendamlah badanmu di kawah-kawah gunung, jaringlah waktu, zaman, dan kurun. Cengkeramlah kukumu hinga ke tahun tahun kapan anda saatnya mati. Dan nyanyikan lagu penyair romantik “Aku ingin hidup seribu tahun lagi!” Itu semua tak menyedihkanku, tak membuat diriku prihatin atau berang. “Aku pribadi” tak punya urusan dengan keserakahan apapun di sekelilingku. Jikapun engkau mendengarkan ada semacam keprihatinan, kemarahan atau kesedihan, itu tak berasal dari “diri pribadi” ku, melainkan dari “diri sosial”. Diri pribadi ku abadi hingga ke Tuhan. “Diri sosial” ku terbatas. Kalau engkau tiba pada tahap di mana Tuhan mengalungkan tanganmu sendiri di lehermu, sambil menutup mata, hati, dan telingamu, serta membuatmu tak bisa kembali, maka diri pribadiku akan tertawa keras-keras karena diri pribadi itu diberi hak oleh Tuhan untuk bersikap acuh dan meninggalkan segala kebodohan. Segala ketegangan dan penyakit jiwa manusia di muka bumi. Orang yang capek-capek menghabiskan hidupnya untuk hanya mencari harta, memeras enerjinya untuk menyabet uang siang dan malam, serta yang menjual harga kemanusiaannya untuk maling hak orang lain alias melakukan korupsi, tak ada julukan lain kecuali bodoh, tegang, dan sakit jiwa. Ilmu pengetahuannya tentang dirinya, tentang manusia, tentang dunia, harta, serta tentang hidup dan mati mengalami kekeliruan dan ketidak ilmiahan secara mendasar. Ia sangat tegang terhadap segala yang sudah dimilikinya, yang akan dimilikinya, yang bisa dimilikinya, yang tak bisa dimilikinya, serta yang ingin dimilikinya. Itu membuatnya sakit jiwa. Dan merusak negara dan rakyatnya. Bercerminlah engkau manusia manusia serakah, sebelum cermin itu retak seribu.