Februari 11, 2025
IMG_20200114_234018

Oleh : H.M. Sitepu (Dosen dan Candidat Doktor Ilmu Pemerintahan)

D j a r a k,  sengaja aku tulis dengan ejaan lama dan setiap huruf berjarak spasi. Bukan karena aku tidak tau itu ejaan lama, malah aku sangat tau bahwa sejak tahun 1970 an sudah harus menulis dengan ejaan baru, yang saat itu dikenal dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Tapi kesengajaan itu, bukan tidak ada maksudnya melainkan dalam tulisan ini aku justru ingin mengulas bahwa antara ‘tau” – “pelaksanaan” itu masih terbentang jarak yang jauhnya tak terhingga.

Siang ini aku membaca status (sekaligus aku anggap keluhan) teman yang aku copy pastekan sebagai berikut ini (mudah-mudahan beliau bersetuju jika aku copy paste walau tanpa aku permisi, karena toh beliau sudah buka untuk dibaca umum) 

“WISATA (STUDY BANDING)” Anggota Dewan dan Pejabat Daerah kita sudah sering berwisata dan study banding. Baik ke berbagai penjuru Nusantara maupun ke luar negeri. Biayanya ditanggung daerah/negara, pulangnya nambah koper untuk tempat oleh-oleh. Apa hasilnya? Walahualam bishawab. Jika saja sang Pejabat/Kepala Dinas terkait agak serius menimba pengalaman, niscaya Pariwisata Kita pasti maju dan berkembang. Nyatanya? Pesta/Festival Danau Toba baru baru ini sepi pengunjung. Konon jumlah Panitia/Penyelenggara lebih banyak dari wisatawan alias pengunjung. Apa pasal? Pejabat pejabat kita memang tak fokus dan asal asalan. Kesannya ‘asal jadi’ dan yang penting belanja/anggaran tidak fiktif. Akhirnya Gubsu berniat membatalkan Pesta Danau Toba untuk tahun tahun mendatang. Pesta Bunga dan Buah di Berastagi agak beda. Memang lumayan ramai, namun yang meramaikan bukan wisatawan, tetapi penduduk setempat dan sekitarnya. Pantaslah Bisnis Pariwisata di Sumut cuma malu maluin alias “man kemelanken”. Bandingkan dengan Kota kecil Cappadocia di Turkey. Setiap hari jika cuaca baik, rata rata 80 – 120 balon gas menerbangkan pelancong manca negara, dan setiap balon mengangkut antara 15 – 25 penumpang. Di China Timur Laut, wisatawan naik Gunung Changbaysan bisa mencapai 1.000 – 3.000 orang per hari, sepanjang tahun. Sehingga armada angkutan khusus ke pendakian Gunung puluhan bus dan lebih seratusan mini bus yang beroperasi setiap hari. Kok bisa? Ya karena mereka serius dan fokus. Bandingkan dengan Gunung Sibayak, The active Volcano, jumlah pendaki bisa dihitung dengan jari. Padahal para wisatawan yang pernah naik selalu bilang “very beautiful”. Soalnya tak ada perhatian dari Pemda. Jalur pendakian nyaris tak terawat. Resiko kecelakaan tinggi. Bahkan beberapa kali tourist hilang dan tersesat.”

Kalau mencermati isi tulisan teman tersebut, dianggap bahwa para anggota Dewan dan para pejabat yang study banding tidak tau bagaimana bagusnya negara yang dikunjungi atau dipelajari sehingga tidak ada implementasinya. Saya berani memastikan bahwa mereka sangat tau bahkan lebih dari yang kita tau. Tapi mengapa tidak atau belum diimplementasikan pengetahuan itu?  Itulah yang disebut dengan jarak antara tau dan pelaksanaan. Lalu mengapa jarak itu masih ada dan apa seharusnya solusinya? Jawab singkatnya ada pada etika publik yang masih kurang, lebih fokus lagi lemahnya “modalitas etika publik”, itu sendiri yang akan saya jelaskan selanjutnya

Jarak dalam Kebijakan Publik

Etika Publik baru populer sekitar tahun 80-an di Amerika setelah muncul skandal Watergate, yang sebelumnya disebut istilah etika pemerintahan. Sementara di Indonesia, etika publik pertama sekali dipopulerkan oleh Sri Mulyani pada awal ketika beliau menjabat sebagai Menteri Keuangan  Bedanya dari keduanya, adalah etika pemerintahan berorientasi pada kekuasaan sedangkan etika publik orientasinya pelayanan publik. Secara utuh, definisinya etika publik adalah refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Etika publik fokusnya pada pelayanan publik yang berkualitas, responsif dan relevan. (Haryatmoko, Kaffe, Kajian Filsafat dan Feminisme, Jurnal Perempuan 19/8/2016,  kantor JP-Jakarta).

Dilihat dari etika publik yang fokusnya pada pelayanan publik yang berkualitas, responsif dan relevan, tapi faktanya seringkali kebijakan publik tidak relevan, sebatas menguntungkan pembuat kebijakan namun tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu tidak salah masyarakat banyak mengeluh tentang buruknya pelaksanaan kebijakan publik di tengah-tengah masyarakat, karena memang para pengambil kebijakan kita belum memiliki etika publik yang baik. Etika publik itu sendiri, secara garis besarnya terdiri dari 3 (tiga) dimensi yang seharusnya saling terkait yaitu : Pertama, TUJUAN (tentunya pelayanan publik yang berkualitas, responsif dan relevan), Kedua,  TINDAKAN (yang berintegritas), dan Ketiga MODALITAS, (yang fokusnya ada dua yaitu Akuntabilitas dan Tranparansi), dan Modalitas Etika Publik itu berupa cara menjembatani antara norma moral (yang seharusnya dilakukan) dan tindakan faktual.”. Bagaimana penjelasannya?

  1. Akuntabilitas (Pertanggungjawaban). Akuntabilitas adalah faktor paling penting sebagai modalitas etika, sebagai penyambung utama dari kebijakan publik tersebut. Bahkan sudah diatur sesuai  Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu seseorang yang mendapatkan amanat harus mempertanggungjawabkannya kepada orang-orang yang memberinya kepercayaan. Apa saja yang dipertanggungjawabkan adalah Akuntabilitas keuangan Akuntabilitas manfaat (efektivitas) dan Akuntabilitas Prosedural. Dengan demikian pemerintah bertanggung jawab secara moral, hukum, dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat,  untuk mengukur atau menilai apakah “mandat rakyat” dijalankan dengan baik. Dalam akuntabilitas, setidaknya ada tiga aspek. Pertama, tekanan akuntabilitas pada pertanggungjawaban kekuasaan melalui keterbukaan pemerintah atau adanya akses informasi bagi pihak luar organisasi pemerintah. Kedua, memahami akuntabilitas sekaligus sebagai tanggung jawab dan liabilitas, sehingga tekanan lebih pada sisi hukum, ganti rugi, dan organisasi.  Ketiga, tekanan lebih pada hak warga negara untuk mengoreksi dan ambil bagian dalam kebijakan publik, sehingga akuntabilitas disamakan dengan transparansi, dengan demikian meniscayakan publik menjadi pengontrol atas berbagai kegiatan dan program-program pemerintah. Maka, pemerintah harus transparan sebagai  dengan memberi laporan terbuka ke publik. Bila ternyata pemerintah lalai, masyarakat bisa menuntut tanggung jawab terhadap akibat yang diderita. Jadi, masyarakat yang terkena dampaknya berhak untuk didengar dan diperhitungkan pandangannya. Etika publik selain mendorong para pengelola negara untuk berpikir, mengambil keputusan (kebijakan), dan bertindak demi kepentingan publik, juga mendorong keterlibatan masyarakat sebagai pengontrol aktif. Ini penting, agar segala penyimpangan terdeteksi. Kontrol itu, selain berupa sistem di lembaga-lembaga pemerintahan, juga dari luar seperti kekuatan civil society dan lembaga-lembaga swadaya. Mengelola negara adalah tanggung jawab utama pemerintah, tapi publik mestilah juga menjadi bagian di dalamnya, sebab publiklah yang pada akhirnya terkena imbas dan merasakannya.
  2. Transparansi, adalah nilai utama dari akuntabilitas, dimana individu atau organisasi dikatakan akuntabel apabila ia mampu menjelaskan atau menilai tindakan atau aksinya. Dengan demikian, individu atau organisasi yang akuntabel tidak dapat menyembunyikan kesalahan atau menghindarkan dirinya dari sebuah penyelidikan. Transparansi merupakan instrumen yang paling penting untuk menilai kinerja organisasi, sebuah persyaratan kunci bagi semua dimensi akuntabilitas lainnya. Sebuah organisasi yang transparan menjamin akses kepada publik, pers, kelompok kepentingan, dan pihak lainnya yang memiliki kepentingan. Transparansi juga mensyaratkan kebenaran informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan publik. Pertanyaan penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dari dimensi transparansi adalah: apakah organisasi mengungkapkan atau memberikan fakta-fakta terkait dengan kinerjanya? 

Dari kedua hal di atas, agar jembatan penghubung jarak itu berfungsi dengan baik, adalah adanya sebuah sarana berupa sistem yang jelas, yang tentunya berkaitan dengan sanksi berupa hukum dan peraturan. Sebagai contoh misalnya seperti kasus di atas (setelah menghabiskan dana study banding) setelah tau pasti pengetahuan itu dipertanggungjawabkan. Dalam pertanggungjawaban inipun, harus terorganisir tanggung jawabnya secara jelas (tidak cukup hanya ngaku bertanggung jawab). Harus dijelaskan sarana dia mempertanggungjawabkan apa?, Bagaimana sistemnya? apakah jika dia tidak melaksanakan, diminta mengembalikan uang study banding? dengan cara apa dia kembalikan?  apakah dipotong dari gajinya? atau disita dari hartanya? apakah dihukum? dsb, semua harus jelas dalam satu sarana pertanggung jawaban. Demikian juga dalam hal transparansi, harus dijelaskan sarananya melakukan transparansi, melalui apa dan bagaimana wujud transparansinya, kemudian jika tidak transparansi apa sanksinya dalam bentuk nyata?

Semua unsur yang ada dalam upaya mengorganisir akuntabilitas inilah modal terpenting dalam etika publik. Jika itu tidak disiapkan oleh pengambil kebijakan, maka pengambilan kebijakan kita masih kekurangan modal etika publik. Hal inipun nanti perlu dipertanyakan secara detail pada kampanyenya para kandidat calon kepala daerah sebentar lagi akan berseliweran menyampaikan visi, misi yang bagus-bagus dan muluk-muluk. Tanyakan apa modalitasnya akan memenuhi janjinya, bagaimana kongkritnya nanti pertanggungjawabannya atas janji tersebut. Jangan gampang terpengaruh dengan janji-janji lidah saja, tanpa ada modalitas etika.

Dengan modalitas etika yang cukup, semoga semua D j a r a k itu tidak lagi berjarak!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *