Februari 18, 2025

Gotong Royong Dan Semangat Menjaga Nilai Kebersamaan Dari Desa

0
IMG-20200625-WA0017

Oleh : “Nanang S Suroso”

******

Juni, sepertinya identik dengan Bung Karno. Selain lahir dan wafatnya di bulan Juni ini, tujuh puluh lima tahun silam, Bung Karno menyebutkan gotong royong  sebagai Ekasila, yakni Nukleus Pancasila. Walaupun akhirnya dasar negara memakai lima sila, kita tidak dapat tepiskan begitu saja, bahwa gotong royong merupakan rumus jitu bangsa dalam menghadapi segenap masalah dan asanya. Hal ini, termasuk juga segala usaha menjaga eksistensinya dari sudut-sudut pedesaan kita.  

Makna gotong royong yang diucapkan Soekarno semestinya tidak berubah sampai sekarang. Seperti ucapannya pada pidato 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI, “gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, memeras keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama.

Anggota MPR/DPR-RI Fraksi PDI Perjuangan Daerah Pemilihan Sumatera Utara III yang meliputi Kab. Langkat,Kota Binjai, Kab. Karo, Kab. Dairi, Kab. Pakpak Barat, Kab. Simalungun, Kota Pematang Siantar, Kab. Asahan, Kab. Batubara dan Kota Tanjung Balai Bob Andika Mamana Sitepu,SH pada Sosialisasi 4 Pilar MPR-RI di Grand Mutiara Hotel Berastagi 19 Juni 2020 menggambarkan gotong royong sebagai sebuah langkah bersama, untuk mencapai suatu tujuan bersama, yang dilakukan tanpa membeda-bedakan  kedudukan,ras,agama atau status sosial. 

Semangat gotong royong yang terlahir dari Bung Karno sebut Anggota Komisi V DPR-RI yang  ini secara turun – temurun telah membuat Indonesia sebagai sebuah bangsa tetap berdiri dengan kokoh.Bung Karno tambah legislator yang memiliki mitra kerja diantaranya Kementrian PUPR, Kementrian Perhubungan, dan Kementrian Desa ini, begitu paham dalam menggali nilai-nilai kegotongroyongan, yang memang dapat ditemui di hampir seluruh suku bangsa yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk yang ada di sudut-sudut pedesaan. 

Kepala Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan Majda El Muhtaj memaparkan keunikan gotong royong. Karena, meski gotong royong sebagai terma, seperti disebutkan Koentjaraningrat, tidak dikenal dalam masyarakat Indonesia, namun ia (Koentjaraningrat) setuju dengan Bung Karno. Pasalnya,gotong royong telah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat dan bangsa Indonesia. Gotong royong adalah praksis kehidupan masyarakat agraris Indonesia. Potret perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah perlambang gotong royong yang agung dari para pejuang bangsa kita.

Selain itu, Majda juga melihat gotong royong memiliki nalar dan nilai untaian (string value), yakni kemartabatan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial. Gotong royong terangnya efektif hidup sebagai tipe nasionalisme Indonesia. Berkali kali  Bung Karno tambah Majda menegaskan nasionalisme Indonesia dibangun atas dasar solidaritas, bukan patriotik gagah gagahan. 

Sikap Bung Karno ini menunjukkan Indonesia jika mau bangkit dan berkembang maju, gotong royong yang mengakar dalam jiwa anak bangsa harus dipupuk. Jangan dimanipulasi. Korupsi dan lain lain  adalah musuh hebat gotong royong karena sangat mengganggu solidaritas. 

Kebaharuan gotong royong itu bebernya (Majda) adalah modal kuat bangsa ini keluar dari pelbagai persoalan. Tinggal saat ini dibutuhkan edukasi kerjasama yang berdaya dan berhasil guna (cooperativeness). Dengan  itulah, nilai atraktif gotong royong bisa direalisasikan dengan maksimal sebagai primasi bagi nasionalisme Indonesia.

Nilai atraktif yang disorong Majda disebut butuh kegotongroyongan. Ini penting, mengingat dalam situasi terkini, gotong royong pada sebahagian titik tidak lagi menjadi darah yang mengalir dalam urat kehidupan masyarakat kekinian. Bahkan di desa, semangat itu seakan melentur akibat terjangan tanpa batas arus perubahan. Hal inilah yang mesti disikapi kuat.

Menurut Wakil Direktur BITRA Indonesia Iswan Kaputra konsepsi pembangunan berdikari dan ekonomi terintegrasi, agar berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan yang Bung Karno sampaikan, merupakan pijakan penting hingga kini untuk membangun desa dengan sumberdaya lokal desa secara gotong royong.

Namun, dalam perkembangannya, implementasi dari praktek tersebut masih gamang. Iswan mencontohkan  pada UU Desa No. 6 tahun 2014 beserta aturan turunannya hanya mewajibkan Badan Usaha Milik Desa sebagai sebuah badan usaha khusus, yang lebih mirip dengan pola Perseran Terbatas (PT) khusus, jauh dari sifat ekonomi kolektif, dimana justru partisipasi masyarakat desa akan lebih terbuka secara luas. 

Jangan heran, meskipun saat ini desa punya uang yang cukup, desa belum dapat cekatan menggerakkan ekonomi besarnya diatas nilai nilai gotong royong.Hal ini dikarenakan masih besarnya tarik menarik kepentingan pada level pembuatan kebijakan.Tidak tanggung, perang kepentingan ini melibatkan dua blok faham, yakni ekonomi kapitalisme dan ekonomi kolektif kerakyatan. 

Penggiat Pedesaan ini berharap, para pengambil kebijakan di tingkat nasional dapat merevisi persoalan besar ini,agar filosofi kebersamaan,saling membantu dan kerelawanan sebagaimana disebut Bung Karno dalam sikap gotong royong-nya dapat tetap tumbuh subur dan memberi manfaat bagi masyarakat.  

Tidak sebatas masuk kedalam nilai – nilai sosial.Makna gotong royong juga sebut Iswan kiranya dapat mempengaruhi perkembangan positif warga desa dari sudut ekonomi.Kekolektifan gotong royong itu yang dianggap dapat membantu lebih ekonomi warga desa.(Nanang, Journalist).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *