Jadilan Pemilih Cerdas/Smart Vooter
Oleh : H.M. Sitepu (Dosen dan Candidat Doktor Ilmu Pemerintahan)
Pengantar
Untuk mengantarkan tulisan ini, saya akan menceritakan tentang para tikus memilih pemimpinnya : Di sebuah tempat gudang besar, bersaranglah tikus-tikus yang jumlahnya sangat banyak, tetapi masalah mereka adalah hampir tiap hari komunitasnya ditangkap dan dimakan kucing. Untuk mengatasi masalah tersebut, para tikus mengadakan rapat yang dihadiri hampir semua komunitas, yang tujuannya memilih pemimpin yang dapat memberikan ide/program bagaimana mengatasi masalah agar tikus-tikus tidak setiap hari ditangkap dan dimakan kucing. Di tengah kebingungan dan kepanikan memilih pemimpin yang paling mampu mereka semua diam tanpa ada yang punya ide/program yang pas, tiba-tiba salah satu dari tikus menyampaikan idenya : ”bagaimana jika kucing-kucing tersebut jika kita pasang lonceng seperti lonceng sapi? Sehingga tiap kali kucing bergerak sudah kedengaran bunyi lonceng dan kita bisa sembunyi?”…….. hampir serempak semua mengatakan setuju… ide yang brilian, dsb, sampai diangkatlah tikus yang satu itu jadi pemimpin.
Keesokan harinya, pagi pagi sudah ada yang ditugasi belanja ke pasar beli lonceng sebanyak 5 lonceng karen diperkirakan jumlah kucing di gudang tersebut ada 5….. pada malam harinya diadakan rapat kembali, untuk merealisir ide sangk pemimpin terpilih…… ternyata saat merealisir memasangkan lonceng ke leher si kucing, tidak satupun tikus berani dan mau memasangkan ke sang kucing, sehingga satu persatu kembali ke sarangnya sambil menyesali diri mengapa ide itu tidak ada yang mampu meralisir??? Berbagai umpatan muncul di benak masing-masing tapi dalam bentuk gerutuan saja, karena pemimpin sudah terlanjur dipilih, uangpun sudah terlanjur habis beli lonceng………
Pesan moral dari cerita itu adalah, harus pintar-pintar mencermati ide dan program calon pemimpin, sebab belum tentu ide yang cemerlang mampu dilaksanakan.
Agar terhindar dari kejadian seperti pemilihan pemimpin tikus tersbut maka diharapkan para pemilih ke depan ini punya kecerdasan analisa calon pemimpinnya. Sejak diadakannya Pilkada serentah pada tahun 2015 lalu, jumlah peserta Pilkada serentak untuk 23 September 2020 nanti akan pecah rekor peserta Pilkada terbanyak yaitu sejumlah 220 Daerah akan menyelenggarakan pesta demokrasi, dengan rincian 9 Pilgub, 224 Pilbup, 37 Pilwalkot. Secara spesifik untuk daerah Sumatera Utara, saya mencatat akan ada 17 Pilbup dan 9 Pilwalkot. Dengan demikian pada tahun 2020 ini kita akan memilih calon pemimpin yang terbanyak.
Dinamika dan Problematika Pilkada
Demokrasi di Indonesia melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah terbukti berjalan secara prosedural, namun dalam sisi demokrasi secara substansial merupakan proses dialektika yang tak kunjung berakhir dalam arena perpolitikan di Indonesia, yang hingga saat ini masih menghasilkan berbagai dinamika dan problematika
Meskipun pemilihan kepala daerah kali ini tidak diikuti oleh Jakarta yang telah selesai tahun 2017 lalu dan sudah mulai ditinggalkan oleh suasana perpolitikan Pilpres yang selesai tahun 2019 ini, akan tetapi bagaimanapun dinamika Pilkada Jakarta dan Pilpres masih terasa membekas dan akan menular ke daerah meskipun tidak seriuh yang lalu karena kita semua mulai jenuh. Problematika yang masih potensial akan menular ke Pilkada lokal adalah Politik Identitas, yang sempat membuat berbagai kegaduhan pada saat Pilkada Jakarta dan Pilpres.
Politik identitas adalah politik yang menekanan pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada asumsi fisik tubuh, kepercayaan, dan Bahasa yang menjadi ciri atau tanda khas dari seseorang. Salah satu yang masuk dalam kategori politik identitas adalah yang dalam kampanyenya selalu menekankan isu SARA. dan hanya berpijak pada kepentingan pragmatis jangka pendek semata.
Masalah lain yang selalu terjadi adalah proses seleksi pasangan calon yang masih berputar-putar di kalangan elite partai tingkat pusat.
Dua hal di atas, kemudian membuat minimnya ruang komunikasi yang terjadi antara pihak partai politik dan masyarakat. Dampaknya, demokrasi yang sejatinya dari, oleh dan untuk rakyat justru dibonsai karena kendali penuh elite partai tingkat pusat.
Sedang demokrasi lokal sendiri, sejatinya adalah menjaga kedaulatan pemilih dalam mengawal akuntabilitas kebijakan di level daerah. Nah, menjadi smart voters adalah cara agar keterlibatan masyarakat mampu menjaga marwah demokrasi lokal yang sudah lebih dari satu dekade berlangsung.
Jadilah Pemilih Cerdas
Siapa yang diharapkan pemilih cerdas? Kita asumsikan saja para usia produktif yaitu 15-64 tahun yang saat ini jumlahnya sekitar 70% dari 260juta penduduk kita. Lebih detail sedikit adalah anak muda dan perempuan hampir jadi target/sasaran para kandidat untuk berpihak padanya, karena presentasi terbesar ada pada anak muda dan pada gender perempuan. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat mempengaruhi cara berpikir kedua generasi tersebut.
Beberapa pemikiran untuk menjadi pemilih cerdas :
- Hindari memilih politik Identitas, pemanfaatan politik identitas itu jauh lebih berbahaya ketimbang politik uang karena efeknya lebih lama. Untuk itu, ketegasan terkait isu toleransi harus ditanamkan dalam partai politik. Ancaman toleransi ini cukup berbahaya dibanding dengan politik uang, politik identitas itu waktunya panjang, tidak terbatas hanya satu daerah saja dan hingga ancaman kekerasan. Oleh karena itulah, carilah partai pengusung yang bersikap tegas dalam konteks mengusung toleransi.
- Hindari berpikir SARA.Menurut pengamatan saya terutama dari berita-berita media, virus model Pilkada Jakarta sejak terpilihnya Jokowi dan Ahok jadi Gubernur dan wakil gubernur Jakarta, sepertinya menular ke mana-mana. Sudah mulai nampak semakin banyak calon pemimpin daerah yang berani tampil dari luar daerah penyelenggara Pilkada, meskipuni di balik rasa keterimaan tersebut, masih saja di-counter dengan munculnya isu melalui kampanye hitam atau terang-terangan tentang SARA. Isu-isu SARA akan menutup ruang berpikir logis rasional yang tertutupi oleh rasa emosional, sementara memilih pemimpin tidak cukup mengandalkan emosi, apalagi emosi sesaat.
- Pilih berdasarkan kepribadian calon, bukan kepada kebesaran partai pengusung. Salah satu yang menjadi masalah kita dalam mencari pemimpin berkualitas, adalah karena sistem threshold yang mengharuskan calon diusung oleh partai yang jumlah korsinya di DPRD cukup mengusung. Dan menentukan siapa menjadi calon, sangat didominasi oleh pemimpin partai, atau setidaknya yang terdekat dengan pemimpin partai, sementara pemimpin partai atau yang dekat pemimpin partai saja tidak menjamin berkualitas baik. Kebanyakan pertai juga berpikir pragmatis, jangka pendek, sehingga sering malah menjadi penyumbat ruang komunikasi yang demokratis antara masyarakat dengan pihak partai politik.
- Pilih yang paling menguasai situasi daerah. Seorang pemimpin, akan sangat mudah menjalankan kepemimpinannya jika dia memahami apa dan siapa yang dia pimpin secara mendalam. Hal-hal yang paling penting dikuasai seorang pemimpin adalah, karakter daerah teritorialnya (memimpin wilayah-wilayah berbukit-bukit dan luas akan beda sekali dengan wilayah yang relatif datar, memimpin masyarakat watak keras akan beda dengan masyarakat karakter lunak, memimpin karakter homogen sangat beda dengan karakter hetrogen, dsb). Semakin menguasai situasi, semakin mudah menyatu dengan masyarakatnya.
- Jauhi praktik politik uang, Sedini mungkin smart vooter harus menolak pemberian uang yang coba ditujukan oleh pasangan calon tertentu. Bahkan, jika ada praktik demikian, smart vooter harus berani melaporkannya kepada badan pengawas pemilu (Bawaslu) setempat.
- Lebih baik memilih Manajer, daripada Pemimpin/Leader. Untuk point ini, sangat debatable karena sesunggunya yang terbaik adalah memiliki keduanya. Yang saya sarankan apabila dalam karakter calon mengental hanya salah satu, maka saya akan sarankan memilih yang mengental karakter manajernya. Tentu saya punya alasan setelah saya jelaskan perbedaan keduanya yang saya kumpul dari bacaan dan saya rangkum dalam tabel berikut :
Perbedaan Manajer dan Pemimpin
Manajer | Pemimpin/Leader |
MengelolaDapat di cetakMemeliharaMemfokuskan pada sistem dan strukturMengandalkan kontrolBerorientasi jangka pendekBertanya bagaimana dan kapanBerorientasi pada hasilMeniruMenerima status quoSeperti tentara yang siap selalu diperintahMelakukan dengan benar | BerinovasiTidak dapat di cetakMengembangkanMemfokuskan pada orang-orang (bawahan)Menumbuhkan kepercayaanMemiliki perspektif jangka panjangBertanya apa dan mengapaBerorientasi pada peluang-peluang masa depanMenciptakanMenentang status quoAdalah dirinya sendiriMelakukan hal yang benar |
Dari sejumlah perbedaan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Manajer berpikir lebih jangka pendek sementara Pemimpin lebih berpikir visioner jangka panjang. Peter Drucker merangkumnya menjadi, Manager: Doing things right.(mengerjakan sesuatu secara benar)Leadership: Doing the right things (mengerjakan sesuatu yang benar). Sedangkan Tabita memdedakannya dengan Manager berpikir taktis, sementara Pemimpin berpikir strategis.
Sesuai dengan jangka waktu periode kepemimpinan kepala daerah 5 tahun atau maksimum 2 x 5 tahun, dan sesuai kondisi kebutuhan jangka pendek kita (mikro), sudah mendesak, maka saya menyarankan memilih calon kepala daerah yang mampu menjadi manajer wilayah/daerah, yang juga punya jiwa kepemimpinan yang baik.
Penutup
Smart voters menjadikan kehadiran masyarakat tidak sekadar terlibat dalam pemasok suara semata. Jauh melebihi itu, smart voters adalah bentuk keterlibatan masyarakat sehingga mampu mewarnai proses demokratisasi yang berlangsung.
Smart voters selalu mendasarkan alasan-alasan rasional dan subyektif dalam setiap pilihan politiknya. Artinya, kesadaran politik menjadi elemen penting sehingga setiap pilihannya selalu didasarkan pada hati nuraninya.
Dengan demikian, menjadi smart voters berarti tidak asal memilih, bukan karena faktor suku, saudara dan lain sebagainya. Setiap pilihan perlu didasarkan pada kriteria yang ada, semisal bagaimana integritas calon pemimpin tersebut. Pilihan juga didasarkan pada komitmennya dan dedikasinya dalam mengatasi berbagai masalah yang menimpa masyarakat.
Selain itu, keterlibatan smart voters nantinya mampu memelihara proses demokrasi yang sesuai dengan yang diamanahkan. Karena, smart voters memahami secara baik makna politik berikut implikasinya terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hak suaranya tidak akan dikasih secara asal-asalan tapi dengan sekian pertimbangan dan alasan yang sudah matang.
Kehadiran smart voters dengan sendirinya akan mengubur pratik-praktik atau transaksi kotor dalam dunia politik. Keberadaan smart voters dengan tegas akan menolak dan enggan menjadi korban money politic.
Akhirnya, smart voters menjadikan elektabilitas calon kepala daerah sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihannya. Dengan adanya smart voters, pemimpin yang terpilih nantinya benar-benar berpihak pada rakyat.
Sekian tulisan dari saya soal “smart voters”, semoga bermanfaat.