November 7, 2024

Catatan Bang Nas.

Seperempat tahun lewat sebulan aku tak menulis tentang apa dan siapa, bukan kehabisan ide dan kata kata, cuma saja hurup hurup di papan kybod komputer tak lagi terbaca, terkikis ujung jari hingga susah untuk mengetik. Sampai sampai tukang pijat tuna netra di kawasan kampung Madras berani beraninya bertanya saat aku berkesempatan minta pijat. “Apa khabar bang Nas sudah lama tak kubaca tulisan abang di koran kita, cuti atau pensiun…?
Jika ada delapan lidah mu tumbuh diantara geraham dan langit langit, itu suatu anugerah terindah yang Tuhan berikan, tapi tetaplah untuk tidak bersuara kalau memang suara itu tak didengar lagi. Menulis dan koar sana koar sini juga begitu, seketika bisa terhenti dan seketika juga bisa bersemangat hanya karena persoalan pilihan siapa Bupati kita masing masing yang dipilih pada ajang pilkada nanti, ribut sana sini sehingga rasa garam tak asin lagi.
“Dengarlah”, “Kalau para kaum terpelajar mulai belajar mengerjakan kejahatan-kejahatan yang mengejawantah, adakah engkau menyangka Tuhan memang mentakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil godogan dari tata hubungan kehidupan yang menyediakan amat banyak lintah-lintah?, dengarlah air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara. Dan jika matamu memandang awan berarak, hendaklah engkau tatap jaga samudera yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung tidaklah mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyapu hari-harimu sebagai hantu yang tanpa asal-usul” kalau orang orang terpelajar itu memanfaatkan ilmu yang ia miliki, kenapa harus soal pilihan yang diributkan ? kalau Pak Polisi yang bertugas di bawah terik itu punya sedikit kesalahan kenapa harus dimaki dan dibenci..? kalau pak Walikota Medan punya slogan Medan Rumah Kita kenapa jalan jalan ke rumah kita banyak yang rusak ? kalau Pak mantan Gubernur Sumut selalu bilang Sumut itu PATEN kenapa wajah wajah kota di delapan penjuru angin itu kurang stedi..? “Kalau kaum terpelajar yang bernasib mujur jadi anggota yang terhormat mulai sanggup merampok terang terangan siapakah sebenarnya gurunya? Tangan siapakah yang melontarkan mata tombak kejahatan pada mereka ?. Kalau kaum terpelajar mulai sanggup melakukan tingkat kejahatan yang paling dangkal dan remeh, apakah karena mereka memang terlahir harus jadi orang jahat?..Apakah kejahatan itu adalah nasib buruk bikinan Tuhan ?. Mendaftarlah ke antrian kesempatan cari kerja meski pendaftaran itu tak berujung diterima sebagai karyawan. Reguklah tujuh samudera pengetahuan, tapi untuk soal-soal bagaimana membangun kebajikan, sepenuhnya diserahkan kepadamu masing-masing, apakah akan mencarinya di balik tikar-tikar kumuh robek rumah-rumah ibadah, atau di pinggiran kaki lima-kaki lima kehidupan. Berbanggalah kita yang selalu diam dan tidak menulis karena memang jeritan dan tulisan tak lagi didengar oleh mereka mereka yang mengaku terpelajar. Lihat di ujung desa terpencil di kawasan Simalungun sana, ada janda renta Painem yang teramat miskin tanpa sanak famili tapi lepas dari perhatian Pemda setempat. Sudah banyak yang menggaungkan dengan suara lantang dan tulisan, tapi instansi terkait masih saja tak mendengar. Lihat betapa bobroknya pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana Desa di sejumlah tempat tinggal kita, lihat betapa merajalelanya korupsi dan pungli di sekitar kita, lihat begitu bebasnya narkoba beredar di lingkungan kita, lihat betapa kejahatan kejahatan itu tersetruktur dan kita dipersilahkan untuk menonton babak demi babak. Biar langit runtuh menindih, biar deru debu menggumpal di kulit kulit kita yang rapuh, biar kemiskinan membelenggu, tapi Negeri ini tetap Merdeka, jangan robek merah putih ku. Ambilkan batang pohon pinang, kami akan merayakan kemerdekaan ini. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *