Mengintip Terbitnya Fajar Di Kota Medan

Oleh : H.M. Sitepu (Dosen dan Candidat Doktor Ilmu Pemerintahan)

Sesuai suasana awal tahun kita mulai melihat secara perlahan segala gejala perwujudan harapan? wish kita tahun lalu tentang berbagai hal. Seluruh harapan yang ditanam pada tahun-tahun sebelumnya, tentu saja yang baik-baik dan indah-indah, dan mulai kita lihat apakah mungkin akan terujud, atau mungkinkan sesuai harapan. Oleh karena itu, opini sekali ini saya beri judul “Mengintip Terbitnya Fajar Kota Medan”, adalah sebuah harapan sebagai anak Medan yang ingin melihat fajar akan menyingsingkan cahayanya untuk membuat Kota Medan bersinar bahkan berkilau. Tapi pembaca jangan membayangkan saya akan atau sedang berada di Kota Medan untuk mengintip kapan datangnya Fajar sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia taitu :” cahaya kemerah-merahan di langit sebelah timur pada menjelang matahari terbit”, karena kalau cahaya kemerahan itu saja, tidak perlu diintip dan ditunggu dia akan datang pada waktunya, dan cahaya itu tidak membuat Kota Medan menjadi indah jika keadaan wajah Kota Medan masih seperti keadaan saat ini.

Kota Medan sebagai wajah Sumatera Utara dan sebuah kota terbesar nomor tiga di Indonesia, akhir-akhir ini wajah keindahannya semakin redup bahkan nyaris kehilangan identitas positip yang mampu melekat di hati, atau “a city without memory and identity”.  Jika kita sempatkan sejenak melihat-lihat wajah Kota Medan lebih detail, mata dan pikiran kita akan disuguhi keadaan buruk  seperti banjir di musim hujan, kemacetan lalu lintas akibat jumlah kendaraan yang tidak sesuai dengan volume dan kondisi jalan yang rusak serta lemahnya penataan pasar tradisional yang banyak berada di persimpangan jalan, tumpukan sampah yang tak pernah tuntas ditangani, maraknya perjudian dan peredaran narkoba, dan lain sebagainya. Belum lagi kita sering disuguhi berita-berita dari berbagai media tentang pejabat korup, lambatnya berbagai urusan jika tidak dibarengi uang tunai (mengenai ini bahkan dulu sering dipesetkan singkatan SUMUT menjadi Semua Urusan Mesati Uang Tunai). Lalu identitas apakah yang kita bisa sematkan selain Kota Bika Ambon? Bukankah dengan kondisi itu yang mengganggu memory kita untuk menyematkan sebagai  Kota begal? Kota sampah? atau identitas negatif lainnya?

Mungkin ada timbul pertanyaan atau pikiran pesimistis, bukankah semua masalah itu terjadi karena karakter masyarakatnya susah diatur?. Saya sebagai akademisi dan praktisi yang menggeluti ilmu manajemen, bisa sepontan mengatakan tidak. Apapun alasannya, kesalahan terbesar dalam ilmu kepemimpinan adalah pada pemimpinnya. Apa lagi jika dikaitkan dengan karakter Anak Medan yang mudah dikenali, diantaranya terbuka,  spontan dan tidak suka berbasa-basi, sangat percaya diri; memiliki rasa kesetia kawanan yang tinggi, dan sangat benci terhadap sikap pengkhianatan dan selingkuh, mudah merasa hiba, sangat menghormati orang lain terutama yang lebih tua. Ada kalanya terkesan nekat, dan lain sebagainya, menurut saya tidak akan menjadi hambatan untuk membuat Kota Medan bersinar kembali jika pemimpinnya mampu mengelola dengan baik. Salah satu karakter populer Anak Medan adalah “Pantang Tak Hebat”. Dalam konotasi kritik, kalimat ini bermakna bahwa : kaleng-kaleng sekalipun seorang Anak Medan, dia tetap merasa hebat dan harus masuk hitungan untuk dihargai. Jika tidak, yang bersangkutan akan melakukan berbagai upaya untuk masuk hitungan dan dihargai.

Kalau ada juga anggapan pesimistis lainnya tentang sering banjirnya Kota Medan karena dilintasi beberapa sungai besar seperti Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Belawan, Sei Badra dan Sei Kera, maka itupun seharusnya tidak membuat wajah Kota Medan menjadi semrawut bahkan jika pandai memanfaatkan perencanaan baik yang telah ada dari jaman Belanda dulu, seharusnya wajah Kota Medan bisa lebih cantik dari kota-kota besar lainnya. Apalagi jika mampu memanfaatkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang besarnya sekitar Rp 6 triliun lebih/tahun secara terarah berdasar prioritas urgensinya. Harusnya mampu menyelesaikan persoalan infrastruktur dan persoalan lainnya dengan baik 

Lalu pertanyaan terakhir di manakah letak persoalan utamanya sehingga keadaan Kota Medan seperti diuraikan di atas? Jawabannya adalah pada kepemimpinan. Sebagai jawaban yang lebih optimis bagaimana masyarakat Kota Medan mampu mengintip siapa kira-kira putra/putri fajar yang dipilih untuk membuat wajah Kota Medan mampu bersinar ke depannya.

Proses pemilihan Walikota Medan yang masuk dalam barisan Pilkada Serentak 2020, sesungguhnya telah mulai sejak resminya anggota DPRD dilantik pada September 2019 lalu. Saat ini sudah banyak bermunculan indikasi (gejala-gejala) bakal calon, hingga resmi terang-terangan menyatakan keinginannya ikut calon Pilkada. Dari sederetan bakal calon yang saya amati dari berbagai media dan informasi, antara lain Incumbent Walikota dan Wakil Walikota (yang diperkirakan maju masing-masing), Ketua DPRD dan Wakil Ketua DPRD, Sekda yang masih aktif. Putra mantan Walikota periode lalu, mantan pejabat Polri yang pernah menduduki jabatan di Kantor Gubernur Sumatera Utara, hingga deretan terbaru generasi muda seperti satu-satunya calon dari perempuan (seorang pengusaha dan aktivis organisasi) dan salah satu menantu Presiden.

Saya sengaja tidak menuliskan nama dari sederet bakal calon itu apalagi mengulas profil lengkap dan prestasinya. Saya pikir masih terlalu dini, biarlah nanti nanti setelah mereka benar-benar terdaftar secara resmi ikut berkompetisi. Selain terlalu dini, sesuai judul tulisan ini baru sekedar ingin mengintip apakah ada fajar yang akan menyingsingkan cahayanya untuk disong-song di tahun 2020 ini atau tidak. Tetapi hasil intipan saya sekilas, saya masih melihat dan berharap akan ada yang mampu membenahi kota Medan yang telah lama pudar wajah cantiknya ditutupi berbagai masalah phisik kota maupun mental.

Setidaknya saya memiliki harapan besar fajar itu akan datang dari munculnya beberapa orang calon generasi milenial, sekaligus mendukung argumentasi saya pada tulisan sebelumnya tentang kepemimpinan generasi milenial itu sendiri. Tinggal bagaimana masyarakat kota Medan memenangkan para generasi milenial ini, adalah dengan menghindari politik uang (money politic), karena sesuai karakter para milenial, yang umumnya tidak suka membeli suara. Bahkan jika ditanya isi hati mereka paling dalam, maka pemilihlah yang membeli kemampuan mereka.

Jika pada tahun 2020 ini masyarakat kota Medan mampu memilih pemimpinnya untuk 5 tahun ke depan secara tepat, didukung oleh telah ditempatkannya Bapak Irjen. Pol. Drs. Bapak Martuani Sormin Siregar, M.Si sebagai Kapolda Sumatera Utara. Ia telah melanglang buana bertugas di wilayah-wilayah teritorial rawan mulai dari  Aceh, Sumatera Selatan, Bangka Belitung (saya kenal kiprah beliau saat bertugas di sekitar Sumsel dan Babel). Mudah-mudahan persoalan judi, narkoba, dan keamanan lainnya di kota Medan beres di tangan beliau, sehingga Fajar di kota Medan akan kita songsong mulai tahun ini

Sebagai renungan di aline penutup ini, mungkin ada baiknya masyarakat kota Medan mengikuti sekilas ritual yang dilakukan Ibunda Bung Karno terhadap putranya Bung Karno sendiri. Yakni, menghadapkan wajah/fikiran ke Timur sambil membayangkan memegang tangan kandidat yang terbaik. Diiringi dengan do’a “Semoga Engkaulah Putra Fajar Kota Medan”. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *