November 11, 2024

Mengundang Para Kandidat Milenial Dalam Pilkada Sumut

0

Oleh : H.M. Sitepu (Dosen dan Candidat Doktor Ilmu Pemerintahan)


Pengantar

Sebagai pengantar tulisan ini, kembali saya kutip bagian awal tulisan saya sebelumnya di media ini, bahwa sejak diadakannya Pilkada serentah pada tahun 2015 lalu, jumlah peserta Pilkada serentak untuk 23 September 2020 nanti akan pecah rekor peserta Pilkada serentak terbanyak yaitu sejumlah 270 Daerah akan menyelenggarakan pesta demokrasi, dengan rincian 9 Pilgub, 224 Pilbup, 37 Pilwalkot. Secara spesifik untuk daerah Sumatera Utara, saya mencatat akan ada 17 Pilbup dan 9 Pilwalkot (sejumlah 26 daerah Sumatera Utara akan menyelenggarakan Pilkada serentak).
Jika pada tulisan sebelumnya dengan judul “Smart Vooter” untuk mengedukasi calon pemilih, maka tulisan ini saya berusaha melihat dari sisi calon yang dipilih untuk menghimbau kaum Milenial untuk calon dipilih, karena sejauh ini saya belum melihat gejalapun dari generasi Milenial untuk maju di Pilkada wilayah Sumatera Utara terutama di wilayah kelahiran saya Tanah Karo. Pada hal pada tahun 2019 ini, generasi millenial yang lahir sekitar 1980-2000an yang pada awal tahun berumur kisaran 18 sampai 39 tahun dari 255 juta jiwa penduduk Indonesia terdapat sekitar 81 juta generasi millenial (sekitar 36% penduduk Indonesia adalah generasi milenial). Jika dibandingkan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) 2019 yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah sejumlah 187.781.884, maka perkiraan jumlah pemilih generasi Milenial sekitar 43%. Dengan kata lain, sejumlah 43% generasi milenial itu sudah memenuhi syarat memilih dan dipilih, atau sudah layak masuk ke ranah politik


Mengapa Mengundang Kandidat Milenial..?

Zaman terus berubah, maka manusiapun harus berubah untuk menyesuaikan dengan segala perubahannya. Berawal dari sejak perubahan teknologi secara signifikan yang disebut dengan Technology Disruption, maka ikutannyapun semua menjadi disruption, seperti Disruptive Innovation, Economic Disruption, dan lain-lain, hingga Behavioural Disruptive (Perubahan Perilaku besar-besaran).  Bahkan dengan maraknya teknologi yang menawarkan artificial intelligent, seperti robot pintar dan berbagai macam aplikasi di smartphone, akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Perilaku atau sikap malas, manja, egois, dan perilaku serba instant merupakan beberapa sikap negatif yang melekat pada mayoritas manusia milenial. Suka tidak suka dengan sifat (yang kita anggap negatif) tersebut, dunia sekarang memang diisi oleh generasi mereka, bahkan kita sudah sepakat menyebutnya “Dunia Milenial”. Kita juga tidak bisa menafikan, bahwa mereka memiliki sifat tersebut adalah keterdesakan technology disruption tadi, bukan karena bawaan lahir.
Oleh karena itu, yang kita butuhkan adalah karakter kepemimpinan yang mampu mereduksi sikap negatif tersebut, sekaligus mampu mengeluarkan semua potensi positif dari kaum milenial seperti melek teknologi, cepat, haus ilmu pengetahuan, dan publikasi. Ada beberapa karakter pemimpin yang dibutuhkan untuk mampu mengeleminir sifat-sifat negatif para Milenial, sekaligus mengangkat potensi besar yang dimiliki mereka, antara lain :


1.Memiliki Pola pikir Digital

Dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan smartphone, maka akses komunikasi antar individu pun sudah tidak bersekat lagi. Ruang pertemuan fisik beralih ke ruang pertemuan digital. Saat ini pun sudah menjadi kewajaran jika seseorang memiliki lebih dari 1 (satu) group di aplikasi WA ataupun Telegram mereka. Pemimpin di era milenial harus bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk menghadirkan proses kerja yang efisien dan efektif di lingkungan kerjanya. Misalnya dengan mengadakan rapat via WA ataupun Anywhere Pad, mengganti surat undangan tertulis dengan undangan via email ataupun Telegram, dan membagi program-program unggulan ke rakyat melalui sosial media, dsb


2.Pengamat dan Pembelajar

Kaum milenial tumbuh beriringan dengan hadirnya media sosial yang membuat mereka kecanduan untuk diperhatikan. Mereka akan sangat menghargai dan termotivasi jika diberikan kesempatan untuk berbicara, berekspresi, dan diakomodasi ide-idenya oleh pemimpin dan lingkungannya. Oleh karena itu jika pemimpinnya bisa menjadi mengamati dan mendengar secara aktif maka kaum Milenial akan cepat bangkit membawa perkembangan signifikan, karena mereka pada dasarnya haus akan ilmu pengetahuan, pengembangan diri dan menyukai untuk berbagi pengalaman.
Tapi di sisi lain, kaum Milenial biasanya tidak ragu untuk menuangkan kekesalannya terhadap keadaan ke dalam media sosialnya. Oleh karena itu, jangan terburu-buru untuk menghakimi kinerja buruk mereka tanpa kita tahu alasan sebenarnya. Dibutuhkan pendengar yang baik dan aktif, maka tidak ada salahnya jika pendekatan dilakukan via media sosial milik mereka seperti Facebook, Instagram, dan Path. 


3.Tangkas

Pemimpin yang tangkas dapat digambarkan sebagai pemimpin yang cerdas melihat peluang, cepat dalam beradaptasi, dan lincah dalam memfasilitasi perubahan. karena pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang terbuka dan memiliki kesiapan menerima ketidakjelasan. Ketidakjelasan ini bisa berarti ketidakjelasan dari prospek  ke depan, ketidakjelasan sistem manajemen, atau ketidakjelasan cara kerja yang dikeluarkan. Pemimpin yang cerdas, akan mampu menyederhanakan kerumitan, memperbaiki, dan menyempurnakan. Pemimpin yang cerdas mampu mengajak organisasinya untuk dengan cepat mengakomodasi perubahan bahkan perubahan hingga “Total Football“.


4.Inklusif

Yang dimaksud dengan inklusif adalah  “termasuk di dalamnya” atau secara implementasi diartikan sebagai memasuki cara berpikir orang lain dalam melihat suatu masalah. Pemimpin yang imampu inklusif dibutuhkan di era milenial karena perbedaan cara pandang antar individu yang semakin komplek. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya informasi yang semakin mudah diakses oleh siapapun, dimanapun, dan kapapnpun sehingga membentuk pola pikir yang berbeda antar individunya. Pemimpin yang inklusif diharapkan dapat menghargai setiap pemikiran yang ada dan menggunakannya untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin juga harus memberikan pemahaman akan pentingnya nilai, budaya, dan visi organisasi kepada anggota timnya secara paripurna karena kaum milenial akan bertindak secara antusias jika tindakannya diakui memiliki arti..
Agar menjadi pemimpin yang inklusif, tidak boleh bertindak sebagai boss (gaya bossy), melainkan leader, mentor, sekaligus sahabat bagi anggota timnya. Hal ini disebabkan sebagian besar kaum milenial menganut nilai-nilai seperti transparansi dan kolaborasi dalam hidup mereka.


5.Berani Tampil Beda

Di zaman sekarang, ternyata masih banyak orang yang tidak berani untuk mengambil sebuah langkah atau keputusan penting dalam pencapaian cita-citanya karena hal tersebut bertentangan dengan kebiasaan orang-orang di sekitarnya. Dalam istilah psikolog, disebut dengan “Manusia Seri”, yang senang dengan duduk manis dianggap orang baik jika diam saja melihat sesuatu yang harus dirobah. Hal semacam ini jika dibiarkan, akan menjadi hambatan seseorang bahkan sebuah organisasin untuk lebih maju. Acapkali tradisi di sebuah organisasi membuat orang lebih suka membenarkan yang biasa daripada membiasakan yang benar. Ini adalah tantangan bagi para pemimpin milenial dalam mengubah kondisi tersebut dan menanamkan nilai bahwa berbeda itu boleh asalkan dengan perencanaan dan tujuan yang jelas.
Oleh karena itu, untuk memberi contoh, pemimpin era Milenial harus berani berbeda, baik dari cara berpikir, kebijakan, maupun penampilannya. Tentu berbedanya untuk kebaikan tim dan organisasi, misalnya membebaskan pakaian kerja tim yang semula berseragam menjadi pakaian semi formal agar menambah semangat bekerja mereka karena tampil keren di hadapan teman kantornya. Menekankan kepada tim bahwa setiap orang memiliki keunikannya masing-masing dan diberdayagunakan untuk kepentingan organisasi juga salah satu tugas dari pemimpin.


6.Pantang Menyerah

Pola pikir pantang menyerah tentu harus dimiliki oleh semua pemimpin. Apalagi memimpin anak-anak Milenial yang lekat dengan sikap malas, manja, dan merasa paling benar sendiri. Pemimpin milenial wajib memiliki sikap positive thinking dan semangat tinggi dalam mengejar tujuannya. Hambatan yang muncul seperti kurangnya respect dari pegawai senior maupun junior harus bisa diatasi dengan sikap ulet dan menunjukkan kualitas diri. Kondisi persaingan kerja di era globalisasi harus memicu pemimpin untuk meningkatkan soft skills misalnya kemampuan bernegosiasi, menginspirasi, dan critical thinking, dan hard skills-nya seperti membuat desain grafis dan berbahasa asing. Maka dari itu, wajib bagi pemimpin untuk menjadi sosok yang pantang menyerah yang memiliki kemampuan bangkit dari kegagalan dengan cepat dan pantang menyerah dalam menggapai tujuannya.


Penutup

Dengan mengetahui sikap kaum Milenial seperti saya sebutkan di atas yaitu sikap malas, manja, egois, dan perilaku serba instant, maka judul di ats berupa pertanyaan mengapa mengundang kandidat milenial, bisa terjawab sudah yaitu karena mereka memiliki sifat acuh terhadap lingkungannya jika tidak mampu memahami mereka. Oleh karena itu kita (berarti termasuk saya) generasi baby boomers yang lahir pada zaman banyak anak banyak rezeki, yang memiliki karakter yang adaptif, mudah menerima dan menyesuaikan diri tetapi selalu menganggap diri sebagai orang lama yang mempunyai pengalaman hidup perlu kesadaran bahwa, kitapun tidak lagi mampu memimpin dengan baik para Milenial ini, sehingga perlu pro-aktif mengundang dan menawarkan estafet kepemimpinan kepada mereka untuk memimpin dunia mereka. Selanjutnya kita dengan legowo mengikuti falsafah Jawa “Lengser keprabon madep pandito” yaitu penguasa yang sudah mengakhiri masa kekuasaannya diharapkan banyak beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa untuk bertobat, agar masih mampu memberi pendapat-pendapat yang bijak kepada generasi penerus kita…..Semoga!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *