Pilihan
Oleh: Salman Tanjung
Duduk disebelahku laki-laki paruh baya. Ditaksir umurnya empat tujuh, empat delapan tahun begitu. Seumuranlah denganku. Dia naik setelah bus berjalan sekira tiga belas menit dari pul.
Dia bergerak kearahku dan meminta ijin untuk ambil posisi. “Ijin, bg. Kosongkan?”, tanyanya sambil menunjuk bangku dengan bibir tersenyum serta anggukkan pelan kepalanya.
Tak tahu kenapa, hampir semua orang selalu begitu. Dan pertanyaannya itupun tak perlu dijawab sebenarnya. Bangkunya memang kosong.
Tapi itupun kujawab juga dengan isyarat tangan yang menyilakan, muka tersenyum, kepala juga mengangguk. Sepertinya ini adalah standar kesopanan bagi orang timur. Sudah pakemnya.
Dia duduk menyorongkan pantatnya di sedikit ruang yang tersisa. Badannya yang besar menggencet diriku, tersudut ke dinding bus. Kaki merapat, tangan hanya bisa menyelip di sela-sela paha. Bahu tak bisa bergerak leluasa. Begitulah, kursi yang kami duduki pas bagian paling belakang. Aturannya porsi dia adalah untuk dua kursi penumpang!
Bersempitanlah kami.
Goyangan-goyangan dijalanan memadatkan dan memantapkan posisinya. Sedangkan aku, semakin tergencet!
Dalam keadaan begitu, susah tak bergerak dan jauh dari rasa nyaman, lelaki ini malah mulai mengajak ngobrol. Mungkin sudah seperti itu memang rule of game-nya jika baru kenal dengan orang lain.
Awal percakapan, ya standarlah. Sama seperti orang yang baru jumpa dan kenal di bus atau tempat umum lainnya. Mulai tanya tujuan perjalanan, daerah asal dan tentang pekerjaan. Nah, dari dialog awal ini berkembang menjadi topik-topik receh dan remeh.
“Dari mana bang? Kenalnya abang sama si anu? Itu lho anunya sianu?” tanyanya seolah-olah aku harus kenal dengan kenalannya. Entah siapapun itu yang disebutkannya!
Aku menggeleng menandakan aku tidak kenal. Gelengan tanpa suara ini juga pertanda aku lagi malas cerita. Posisi terjepit mematikan selera bicara. Banyak bicara menambah penderitaan.
“Aku pernah kesana. Di sana enak ya. Enaklah abang kerja sambil wisata sambil kerja”, cocor dia mengomentari tempat kerjaku.
“Ya, Gitulah”, jawabku sekenanya. Posisi duduk terhimpit begini membuat kehabisan kata, apalagi sekedar basa-basi.
Dia bercerita sendiri soal tujuannya walau tak ditanya. Dari sini aku tahu bahwa dia hanya kunjungan untuk sekali jalan ke Karo ini. Mau menjenguk mama alias pamannya yang sakit tua di Tigapanah. Sore balik lagi, begitu katanya.
Kemudian dia coba bahas tentang pekerjaanku. Ya, kujelaskan saja secara ringkas kegiatanku yang sering berhadapan dengan banyak orang.
Tetiba dia melayangkan pertanyaan yang tak kusangka. “Siapalah abang pilih nanti?”, tanyanya ringkas. Kalimat itu sangat jelas dan meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa melihat situasi bus yang lagi ramai.
Aku terdiam dan penumpang lain sekitar tempat duduk kami juga terdiam. Perasaanku, semuanya menunggu jawabanku.
Aku menduga pertanyaan ini menjurus ke soal pilihan di Pileg dan Pilpres.
Tak kujawab langsung. Aku coba menghadapkan muka menatap wajahnya. Mengukur keseriusan dan kemanfaatan pertanyaan itu baginya. Apakah hanya sekedar ingin tahu dan memperpanjang pembicaraan. Atau ingin memprospek diriku agar pilihan sesuai dengan keinginannya. Atau hanya ingin berdebat atas apapun pilihanku.
Cari aman, aku menjawab normatif sesuai dengan keadaan. “Kami itu harus netral. Tidak boleh menunjukkan pilihan secara terbuka. Termasuk memberikan isyarat gambar atau perkataan atas pilihan”, jelasku standar. Aku berharap tidak ada pertanyaan ikutan.
Eh, malah dia nanya lagi. “Kenapa begitu? Apakah kalian tidak memilih dan tidak punya pilihan”, cecarnya seperti tidak mengasih angin. “Terus golputlah kalian, ya”, vonisnya. Sepertinya lebih pada nada kekesalan daripada keingintahuannya.
Aku ragu melayaninya. Apapun jawabannya tidak akan memuaskan. Memang si hobi debat dia sepertinya. Suka bertegang urat. Yang bersuara keras dan terus mendominasi percakapan akan jadi pemenang.
Tapi ini kesempatan untuk mengedukasi, pikirku. Walau tidak yakin-yakin kali.
“Kan profesi seperti kami ini fungsinya sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat serta pemersatu bangsa”, jawabku sengaja panjang dan tak terputus dalam satu nafas biar tidak diselanya.
“Kalau kami memihak, rusaklah pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. NKRI akan jadi goyah. Bisa jadi berujung pada perpecahan”, lanjutku terus berucap.
“Mana ada gitu”, potongnya cepat ditengah penjelasanku. “Si anu, anu dan anu adanya kulihat dekat-dekat dengan caleg dan partai minimal timses. Memihaknya orang itu”, tambahnya terus seolah membantah dan coba memojokkan.
Aku yang memang sudah duduk dipojok tak mau lagi terpancing dan bereaksi. “Biar ajalah orang itu. Setiap kita punya sikap berbeda. Tanggung sendirilah resikonya”, jawabku kesal dan mencoba mengakhiri pembicaraan dengan topik ini.
Kepala kupalingkan ke arah jendela dan berdiam diri.
Abang ini sepertinya menangkap sinyal itu. Diapun diam.
Setelah diam begini, baru kusadari bahwa bus yang kami tumpangi melaju kencang. Angin berhembus deras dari sela-sela jendela kaca yang terbuka sedikit. Menyibak-nyibak gorden manik kusam seperti melambai-lambai. Anginnya dingin menembus pori-pori baju, menyeruh kulit masuk sampai ketulang. Aku menggigil kedinginan. Lalu kudorong jendela yang terbuka sampai benar-benar tertutup.
Sekarang malah keheningan yang merasuk. Kikuk juga jadinya. Suara musik dan lagu nostalgia tahun delapan puluhan yang diputar supir tidak mencairkan suasana.
Pikiranku beralih sejenak karena ponsel yang dibawa bergetar. Dengan susah payah kugeser pelan HP yang ada dikantong celana sebelah kanan. HP-nya terjepit dan susah diambil walau akhirnya bisa juga keluar.
Kumainkan ponsel ini. Kuperiksa beberapa pesan masuk dalam aplikasi perpesanan. Tidak ada yang menarik hati dan perlu dikomentari. Kusimpan lagi dalam kantong celana. Memasukkannya sama susahnya saat mengeluarkannya. Tangan tertekuk, badan diangkat sedikit dan ponsel dimasukkan dengan pelan.
Bus ini meliuk-liuk. Gerakan kami didalam menyesuaikan dengan belokan busnya. Seringkali aku jadi tumpuan abang disebelahku ini saat bus belok ke kanan. Seperti mau ringsek.
Saat jalan lurus dan agak panjang, abang ini mengeluarkan minuman dari tasnya yang sedari tadi dipegangnya. Pengambilan ini menimbulkan masalah tersendiri. Sikunya hampir mengenai kepalaku. Sigap mengelak menandakan reflekku masih bagus.
Selesai minum, botol dimasukkan lagi. Gerakan reflek menghindari siku kembali terjadi.
“Ingatnya orang abang memang tidak memilih”, tanyanya kembali ke soal semula. Sepertinya tegukan air dari botol tadi mengingatkan pertanyaannya soal golput yang belum terjawab.
” Ya, milihlah”, jawabku tegas dan suara mengeras. Penumpang di depanku menoleh sedikit menandakan dia memang mengikuti percakapan kami.
“Itukan hak sekaligus kewajiban. Kalau mau ada andil harus kita ikut menentukan pilihan. Bukan perkara menang-kalah, tapi partisipasi untuk menentukan masa depan negeri tercinta ini”, jawabku seperti berkhotbah berapi-api bercampur kesal. Ku tak peduli apa dia mengerti atau tidak.
“Dan pilihan itu tidak perlu diumbar-umbar. Menunjukkan keberpihakan dengan kata-kata, gambar dan simbol-simbol tertentu. Apalagi mencoba ikut mempengaruhi orang lain. Haram itu!”, kujawab dengan setengah berteriak. Kali lebih banyak lagi penumpang yang menolehkan kepala kepadaku.
“Gak usah tanya itu lagi ya”, ucapku semakin kesal
Abang itu lalu diam merasakan kekesalanku atau mungkin dia menyadari kesalahannya. Terserah ajalah.
Kami terdiam lagi.
Selintas muncul penyesalan. “Kok aku bisa marah-marah ya”, kataku membatin. Kesadaran ini membuat lega dan menurunkan sedikit tensi. Terucap istighfar di dalam hati.
Tapi tidak lama kemudian, lelaki ini bertanya lagi. ” “Bagaimana mungkin memilih tapi tidak memihak”, ucapnya keheranan.
Kupelototkan mata padanya. Sempurna sudah. Badan terjepit, mental tersudut.
“Pinggir, sekali pir”, kuberteriak minta bus berhenti. Aku berdiri meminta jalan dan turun. Walau masih jauh dari tujuan akhir. (Kabanjahe, 12/12/23)