Poligami


Catatan Bang Nas.
Apakah ada istri istri orang Indonesia yang ajaib dengan mempersilahkan suaminya untuk kawin lagi..? Kalau perlu ia yang carikan perawan, minimal dipersilakan masuk kamar pembantu kapan saja asal jangan ketahuan anak-anak dan tetangga. Dengan syarat tak usah kawin resmi lagi dengan siapapun. Jika ada, mungkin istri itu sedang melakukan tharikat talis, ngelmu kanthong bolong, ngelmu suwung bagaikan Prabu Yudhistira. Atau, mungkin itu sebuah tawaran konsensi untuk secara psikologis sang istri juga akan memperoleh lubang konsensi jika hendak melakukan sesuatu di luar persuami-istrian mereka.
Banyak orang yang melakukan kawin gelap. Artinya, kita semua sepakat bahwa itu tidak sedikit, karena kita tak pernah tahu persis berapa jumlahnya. Kalau diriset, apalagi kalau pakai wawancara langsung, atau bahkan sekadar pakai kuisioner, umumnya para pelaku itu enggak pernah mengaku, Lha wong namanya saja aktivitas gelap.
Terkadang kita tidak sungguh-sungguh paham mengenai hal ini. Misalnya yang tidak kita mengerti adalah bagaimana cara nikahnya? Permasalahannya, kenapa orang-orang melakukan itu? Tentu banyak sebabnya. Yang pasti karena enak, setidak-tidaknya demikian yang dibayangkan ketika seseorang hendak melakukannya, serta ketika kita semua mendengarkan tentang seseorang yang melakukan kawin gelap. Yang enak tentu saja bukan “rumah tangga” nya, melainkan “kawin” nya.
Hidup kita belum tentu sesuai dengan apa yang Tuhan skenariokan. Apakah anda pikir Tuhan bikin anda tanpa konsep apa-apa dan tidur sesudah anda tercipta? Padahal, kita tidak pernah mampu bikin atau menciptakan anak. Kita sekadar melakukan sesuatu yang enak dengan istri kita, dan risikonya anak pun lahir.
Berlangsung hal-hal yang sama sekali tak cocok dengan dugaan kita, dengan perhitungan kita, dengan gagasan dan persepsi kita, serta dengan ilmu pengetahuan kita. Mungkin karena jarang bertanya kepada Pencipta apa mau-Nya atas hidup kita. Orang melakukan kawin bawah tangan karena yakin, bahwa fiqih agama yang dianutnya memperbolehkan. Dilakukan secara gelap, karena ada peraturan pemerintah yang otoritasnya mengatasi peraturan Tuhan.
Peraturan pemerintah itu entah bagaimana lahirnya, mungkin berasal dari “otoritas bawah tangan” di pusat kekuasaan. Mungkin juga karena keinginan untuk secara pragmatis menghindarkan bangsa dan birokrasi ini dari hal-hal yang merepotkan dan menambah perkara.
Aturan obyektif positif fiqih Islam tentang poligami, tidak sendirinya membuka diri untuk dimanfaatkan kaum lelaki tanpa pertanggungan jawab kualitatif. Sama dengan shalat lima waktu, Ia bukan tugas jungkir-jungkir yang bebas dari pemaknaan, penghayatan, dan kesungguhan atas setiap kata yang diucapkan dalam shalat.
Bagaimana mungkin seseorang meminta kepada Tuhan dalam shalatnya, “Berilah hamba jalan yang lurus”, padahal jalan itu sudah lama Tuhan kasih dan ia tak pernah memakainya, sementara ia minta terus di setiap raka’at shalat. Gendheng itu namanya. Minta disuguhi kopi, sudah dikasih, enggak pernah diminum, tapi minta lagi, disuguhi lagi, tak juga diminum, tapi minta lagi, minta lagi… Manusia tak boleh dipahami dan memahami dirinya hanya sebagai robot yang bergerak teknis belaka. Ia adalah makhluk pertanggungan jawab, makhluk akal, makhluk logika dan kesungguhan hati.
Demikian soal kawin, lelaki tidak bisa memahami perkenanan poligami dalam Islam hanya dalam perspektif kebebasan, sebab aksentuasinya justru adalah pertanggungjawaban sosial. Kita tak bisa berkata kepada Islam, “Kau memperbolehkan aku kawin lebih dari satu, maka aku kawin lagi. Titik”. Karena prinsip Islam soal perkawinan adalah monogami.
Poligami bukanlah prinsip, bukan asas, melainkan “uang tak terduga” dalam “budgeting kehidupan”, yang memang mengandung kemungkinan-kemungkinan tak terbatas. Poligami adalah pintu kehancuran, jalan untuk robohnya sebuah tembok perkawinan yang sudah lama kokoh. Tapi jika seseorang yang siap untuk tertimbun bangunan yang ia sendiri meruntuhkannya, ya silahkan saja. Anda jangan makan kodok, itu makruh, tapi karena anda dibuang di tengah hutan belantara dan siang itu hanya ketemu kodok, ya makanlah.
Shalat harus dilakukan dengan berdiri, ruku’, sujud, tahiyat, dan lain sebagainya. Tapi karena engkau hanya bisa berbaring, ya shalatlah dengan terbaring. Dan karena engkau bisu, ya hatimulah saja yang mengucapkan kalimat-kalimat kepada Allah. Allah tidak meminta bunyi mulutmu, bahkan Ia juga tak meminta ucapan lahir maupun batinmu. Yang diminta Allah adalah kesungguhan hatimu. Allah lebih memilih kesungguhan hati meskipun tanpa ucapan dan apalagi sekadar tanpa bunyi.
Maka, tekanan makna poligami tidak pada perkenanan obyektif fiqih melainkan pada pengetahuan dan kesungguhan jiwa seseorang atas dirinya di tengah integralitas dengan lingkungan sosialnya. Kita kawin lebih dari satu hanya kalau ada situasi-situasi sosial yang dalam perhitungan kolektif memaksa kita untuk itu. Dan yang mewajibkan sejumlah lelaki mengorbankan diri menyantuni serta mengangkat derajat sejumlah wanita.
Kitab Suci tidak pernah mengatakan bahwa nafsu kelelakianmu lancar, maka engkau dipersilakan mengambil lebih dari satu perempuan. Tidak ada agama yang menganjurkan pelampiasan nafsu. Dan bukan Tuhan kalau pekerjaan-Nya mengendalikan, menaklukkan, dan menjinakkan nafsu pribadi.
Kasus-kasus poligami yang banyak terjadi di masyarakat kita adalah eksploitasi nafsu dan keserakahan lelaki atas fiqih obyektif. Lelaki mengawini lebih dari satu wanita umumnya tidak berangkat dari situasi-situasi darurat sosial, sebagaimana makan kodok di hutan belantara. Juga tidak melalui pertimbangan-pertimbangan kemasyarakatan, melainkan sekadar pelampiasan-pelampiasan yang bersifat personal dan subyektif. Jika itu alasan klasiknya, bukan poligami namanya, tapi poliseni
Pada suatu malam, dalam suatu acara training sebuah organisasi keagamaan mahasiswa, salah seorang Ustadz berkata kepada kaum wanita yang hadir, “Sudahlah kalian pasrah saja pada apa yang dikatakan oleh Allah. Ikhlaslah dimadu”.
Mendengar ajaran Ustadz, ada seorang lelaki bertanya kepada kaum wanita itu, kenapa kalian rela menerima anjuran itu ? wanita itu menjawab, “Saya bisa maklum, kalau saya sedang mens.
Jawaban si wanita itu memang sungguh abstrak dan menimbulkan kemarahan sebagian dari wanita yang lain. “Kalau demikian kita pun setuju dengan poligami, karena anda sudah telanjur kawin dengan seekor sapi…!”
Tentu kita tidak sedang mengidentikkan lelaki yang menempuh poligami dengan sapi. Hanya saja menilik jawaban wanita tadi, bahwa ia memperkenankan suaminya mempunyai istri lain karena ketika datang bulan ia tak bisa melayani, maka konteksnya menjadi konteks binatang. Jadi, jangan berpoligami karena itu budaya binatang***