Kemarin sore seorang pak Polantas tiba tiba datang, duduk di sebelah ku di warung simpang Timur Medan. Ia tampak lelah, sesekali mengkibaskan topi petnya ke arah muka, ia baru saja mengatur lalu lintas yang ruwet dan penuh sesak. “ Oh capek, kerja tak ada hentinya, gaji tetap juga seperti biasa” keluhnya membuka hening suasana. “Pak maaf pak” katanya lagi, “sory ni ya, saya merasa berdosa kali setiap hari, tak pantas masuk sorga, saya petugas yang berhubungan dengan para pengendara mobil dan sepeda motor. Jujur aja ni, jika ada pengendara yang mau bayar, saya tidak tilang kendaraannya, tapi yang pelit terpaksa ditilang, apa lagi yang melawan saya tendang. Jadi saya kerja berdasarkan kemauan pengendara, itu kan biasa ya pak..,? Mau macam mana lagi saya ini, gaji tak cukup, ya terpaksa negos negosan sama mereka, hehehehe…”
Pak Pol yang saatu ini memang jujur, ia tak segan menceritakan tentang hidup dan kehidupannya, tapi ia merasa dirinya tak begitu berdosa dibanding dengan seorang Dokter. “Kemarin, sambungnya lagi…saya antarkan seorang pengendara yang kecelakaan di jalan raya. Saya bawa dia ke Rumah sakit, si Dokter tak segera menangani pasien, padahal sudah sangat perlu bantuan. Bukannya segera menolong, Dokter itu malah menanyakan siapa yang bertanggung jawab, inikan sadis, nyawa manusia masih ia tawar…..ia timang timang dengan hitungan angka, walah….kejam kali ah. Jika seorang Dokter punya nurani, tolonglah orang yang sekarat, semua orang masih berharap diberi kesempatan hidup meski nafas sudah ditenggorokan. “Saya menangis melihat kejadian itu, nah…coba pak’e ..siapa dulu yang masuk neraka, saya atau Dokter itu ?
Aku tak menjawab, kubiarkan dia berkeluh kesah, berceloteh panjang, tapi fikiranku menari nari, benar apa yang dikatakan pak Pol ini.
Manusia adalah berpengetahuan akal dan kesadaran batin bahwa ia akan mati, dan itu bisa berlaku tidak 30 tahun yang akan datang, melainkan bisa juga besok pagi-pagi menjelang seseorang masuk kerja. Manusia yang berpikir efisien tidak menghabiskan tenaga dan waktunya untuk kesementaraan, melainkan untuk keabadian. Tidak menumpahkan profesionalisme untuk menggapai sesuatu yang toh tidak akan menyertainya selama-lamanya.
Ilmu yang dimiliki masing masing orang adalah kesanggupan memilih satu dua yang abadi di antara seribu dua ribu yang temporer. Memilih satu dua yang sejati di tengah seribu dua ribu hal-hal, barang-barang, pekerjaan-pekerjaan, target-target yang palsu. Manusia yang paling profesional adalah yang memiliki akar pengetahuan dan daya terapan untuk bersegera menggunakan ilmu ilmunya, untuk siapa saja, untuk apa saja, tanpa menunggu jawaban imbalan. Nanti juga ilmu yang bermanfat yang telah diberikan kepada orang lain, akan terbayar dengan sendirinya. Manusia yang paling cerdas dan peka adalah yang mengerti bahwa segala sesuatu dalam kehidupannya harus diperbaiki sekarang juga, tidak besok atau lusa, karena bisa keburu mati. Bahwa apapun saja harus segera di ikhlasi dan menghindarkan diri dari kemubaziran-kemubaziran mengurusi hal-hal yang semu, palsu dan temporer.
Benar hutang harus segera dibayar, biaya selama mencari ilmu haruslah dikembalikan, tapi tidak dengan melukai hati siapa saja. Tidak dengan keterpaksan memberi ilmu, berusahalah dengan ikhlas. Kesalahan harus segera dihapuskan dengan meminta maaf kepada sesama manusia yang disalahi, dan memohon ampun kepada Tuhan.
Bahwa omset ekonomi berapapun tidak menolong seseorang di garis kematiannya, Jabatan setinggi apapun tidak menambahi keberuntungan apapun di hadapan mautnya. Kejayaan, kemegahan dan kegagahan macam apapun tidak akan sanggup mengurusi nasibnya di depan sakaratul maut yang akan muncul mendadak dan tiba tiba.
Kembali ke soal masuk neraka seperti kata pak Pol tadi, Pejabat nakal masuk neraka, Jaksa dan Hakim nakal masuk neraka, Polisi nakal masuk neraka, Dokter nakal masuk neraka, Wartawan nakal juga masuk neraka. Tapi Wartawan masuknya belakangan, jika duluan siapa yang buat beritanya. Ahm….***